Kamis, 17 Maret 2011

Suasana UAMBN dan UAM Ala MTs. Attaqwa 16 Kota Bekasi


Fokus Attembel, Alhamdulillah lima hari sudah pelaksanaan Ujian Akhir Madrasah Bertandar Nasional (UAMBN) dan Ujian Akhir Madrasah (UAM) di MTs. Attaqwa 16 Kota Bekasi yang dimulai pada tanggal, 14 s/d 22 Maret 2011. Ujian ini tepat dimulai pukul 08.00 WIB dengan diawali 07.30 seluruh siswa/i wajib masuk ruangan untuk mengawali pengurekan form identitas. Pada tahun ini jumlah kelas 9 MTs. Attaqwa 16 Kota Bekasi sebanyak 102 orang yang tersebar di 6 (enam) ruangan ujian.
Pengawas yang terdiri dari dewan guru memulai tugasnya dengan mengecek kesiapan ATK dan kerapihan peserta uijan, mulai dari rambut, baju, celana/maksi, sepatu, kaos kaki, hingga kuku. Apabila ada yang melanggar secara otomatis akan disuruh pulang untuk memperbaikinya, sesuai arahan dari Bapak Kepala Madrasah kepada orang tua murid pada hari sebelum pelaksanaan ujian.
Ujian dimulai dengan salah seorang dari siswa di tiap-tiap ruangan untuk memimpin doa, dengan harapan semoga dimudahkan dalam menjawab soal. Seketika itu pula, suasana berubah menjadi hening nan sunyi yang tergambar hanya goyangan pensil 2B dan penggaris UN.
Bergerak saja tidak dibolehkan oleh pengawas, apalagi bertanya dan ngobrol sesama peserta ujian. Apabila peserta ingin keluar atau bertanya, maka terlebih dahulu mengacungkan tangan. Bagi kami para pengawas, ini merupakan buah hasil dari kedisiplinan dan ketegasan yang diterapkan oleh Ust. H. A. Zubair Dasuki, S. Ag selaku Kepala MTs. Attaqwa 16 Kota Bekasi, baik kepada seluruh siswa/i-nya maupun kepada para pembantu-pembantunya (dewan guru dan staf).
Semoga harapan dan cita-cita besar Kepala MTs. Attaqwa 16 Kota Bekasi yang merencanakan pada kurun 2012-2014 menuju MTs. Attaqwa 16 Kota Bekasi sebagai Madrasah terfavorit di Kota Bekasi dan mampu bersaing dengan Sekolah-sekolah Unggulan dan Sekolah Negeri lainnya. Amien... Bravo Attembel go to 2012-2014 Madrasah Terfavorit di Kota Bekasi.  IUE.2011     

Senin, 14 Maret 2011

Sertifikasi Tidak Tingkatkan Kualitas Guru.!!

SURABAYA - Kompetensi guru yang dinyatakan lulus setelah mengikuti sertifikasi belum mengalami perbedaan signifikan. Hasil kajian Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) menyebut, sebanyak 40 persen guru yang lulus sertifikasi memiliki standar nilai dibawah lima. Artinya lebih banyak kualitas guru yang tetap meski mendapatkan tunjangan profesi pendidik (TPP) dengan syarat lulus setifikasi.
Kepala Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan, Salamun, mengatakan, hasil kajian itu, membuat Kemdiknas mewajibkan program diklat akreditasi bagi seluruh guru yang telah lulus sertifikasi dan menerima TPP. Padahal kelulusan dalam proses sertifikasi dan pemberian tunjangan dampaknya tidak terlalu banyak bagi kualifikasi seorang guru.
"Hanya 29,6 persen kompetensi guru naik setelah adanya sertifikasi dan pemberian TPP," ujar Salamun, Selasa (15/3).
Ketua Dewan Pendidikan Jatim, Zainuddin Maliki, menilai Kemdiknas harus segera melakukan evaluasi ulang dan mengubah konsep sertifikasi guru. Ia menegaskan, sertifikasi guru digunakan untuk meningkatkan kualitas guru, bukan ditujukan sebagai syarat mendapatkan tunjangan profesi.
"Saat ini dicampuradukkan. Guru dalam proses sertifikasi tidak mengejar proses, tapi hasil demi dapat mendapatkan tambahan penghasilan," ulas Zainuddin.
Ia melanjutkan, program sertifikasi guru belum berjalan ideal. Sebab, guru yang dinyatakan lulus belum menunjukkan perubahan signifikan dari sisi kualitas. Terlebih lagi, beberapa guru malah sibuk mengurus administrasi dalam proses sertifikasi. Kelulusan dalam proses sertifikasi dianggap sebagai batu loncatan untuk mendapatkan tambahan uang tunjangan.
"Persentase keberhasilan pelaksanaan sertifikasi guru untuk peningkatkan mutu hanya 50 persen. Sedangkan untuk kesejahteraan guru mencapai sekitar 60 persen," ujar Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya itu.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Timur (Jatim), Ikhwan Sumadi membantah jika kinerja guru tidak meningkat, meski mendapat TPP. Ikhwan, mengaku guru penerima TPP kinerjanya sudah meningkat. Indikatornya adalah guru mulai tergerak membeli buku yang berkaitan dengan program sertifikasi.
"Guru juga berlatih membuat penelitian hasil pembelajaran di kelas," ungkapnya.
Menurut Ikhwan, lebih separuh guru yang disurvei mengalami peningkatan kinerja. Tolok ukurnya, pendidik menjadi lebih bersemangat saat mengajar dan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran kepada anak didik. Itu karena PGRI terus mendorong seluruh guru penerima sertfikasi tidak hanya menuntut haknya saja.
"Guru mulai sadar harus melaksanakan kewajibannya demi perbaikan kualitas pendidikan setelah haknya terpenuhi," jelas Ikhwan.

Keikutsertaan Sekolah Islam / Madrasah dan Pesantren dalam Kompetisi Sains Masih Rendah.

JAKARTA—Keikutsertaan sekolah Islam dalam kompetisi sains masih rendah. Padahal sekolah Islam, termasuk pesantren, memiliki potensi yang sama dengan sekolah umum atau sekolah agama non-Islam.
“Data statistik menunjukan minimnya keikutsertaan sekolah Islam dalam kompetisi sains. Sekalipun ada, hanya satu atau dua sekolah, itu pun nama-nama yang sama,” papar Hari Juliarta Priyadi, Production Manager Surya Institute,  kepada republika.co.id, usai di sela-sela Islamic Science Festival di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (8/3).
Hari menjelaskan minimnya keikutsertaan sekolah Islam dan pesantren dalam kompetisi sains boleh jadi disebabkan minimnya pengembangan sains di sekolah itu sendiri. Minimnya pengembangan itu ditenggarai karena keterbatasan infrastruktur dan tenaga pengajar yang melek sains.  Belum lagi metode yang digunakan masih terbatas penyampaian yang kaku dan kolot. Padahal, sains harus diperlakukan dengan cara yang luwes, komunikatif, dan aplikatif. 
“Selama ini pendidikan sains memang masih dominan bersifat teoritis dan pragmatis. Sulit untuk mengatakan metode pendidikan semacam itu menjanjikan pengembangan sains,” kata dia.
Menurut dia, sekolah Islam atau pesantren perlu melakukan trobosan dalam menyajikan pendidikan sains kepada anak didik. Terobosan itu diawali dengan motivasi dan sosialisasi terhadap guru.
Djunaedi Gaffar, Content Educational Kandel Multimedia, berpendapat rendahnya keikutsertaan sekolah Islam atau pesantren disebabkan kurangnya informasi atau akses kepada kompetisi. Ia mengatakan selama ini ada kesalahpahaman bahwa kompetisi yang ada diperuntukan sekolah umum atau sekolah agama non-Islam. “Sehingga mereka cenderung ragu-ragu.  Akibatnya, banyak sekolah Islam yang berpotensi tidak bisa mengikuti kompetisi,” kata dia.